Rabu, 09 April 2014

METEOROLOGI DAN OSEANOGRAFI



Lautan dan atmosfer adalah suatu sistem kopel yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sangatlah ironis jika seorang oceanographer tidak mengerti tentang meteorology. Contoh fenomena kopel atmosfer lautan yang terkenal adalah el-nino dan la-nina. Dinamika lautan mempengaruhi fenomena ini. Selain itu, sistem kopel lautan-atmosfer lainnya MJO (Madden Julian Oscillation), PDO (Pasific Decadal Oscillation) IOD (Indian Ocean Dipole), dan lain-lain. Oleh karena itu, meteorologi di kelautan adalah hal yang wajib dipelajari dan dimengerti.

1.      Moonson
Moonson merupakan implikasi dari respon samudera dan benua dalam menerima sinar matahari. Contohnya di Indonesia, pada saat musim panas di BBU, suhu udara di daratan Eropa dan Asia menjadi  panas.  Udara di atas daratan tersebut mendapat pemanasan yang lebih banyak dari perairan di daerah sekitarnya, yang menyebabkan Palung Tekanan Rendah Khatulistiwa dan ITCZ bergeser ke arah utara  hingga mencapai sekitar wilayah India dan  Cina bagian Selatan. Akibatnya dari dareah sabuk tekanan tinggi BBS akan mengalir angin dari arah Tenggara menuju daerah ITCZ, dibelokkan ke arah kanan oleh gaya korioli pada saat melintasi khatulistiwa, dan membentuk daerah angin monsun baratan pada daerah yang terletak antara khatulistiwa dan ITCZ. Demikian juga halnya, pada saat musim panas di BBS, pemanasan yang terjadi di atas daratan Benua Australia menyebabkan pergeseran letak ITCZ bergeser ke arah selatan melintasi wilayah Indonesia.
Di daerah yang iklimnya dipengaruhi oleh pola peredaran monsun,  arah angin terbanyak/dominan yang bertiup pada periode musim hujan berlawanan arahnya dengan arah angin terbanyak/dominan  yang  bertiup pada periode musim kemarau. Misalnya, untuk wilayah Indonesia sebelah selatan, musim hujan jatuh pada periode musim angin barat (monsun barat), sedangkan musim kemarau jatuh pada periode angin timur (monsun timur).  Perubahan arah angin yang terjadi pada periode musim hujan dan musim kemarau tersebut terjadi seiring dengan pergeseran posisi Palung Tekanan Rendah Khatulistiwa dan ITCZ  dari utara ke selatan, kemudian ke utara lagi, demikian seterusnya sepanjang tahun.
Pada periode antara bulan Nopember – Pebruari,  hamper di sebagian besar wilayah  Indonesia  didominasi oleh  angin dari arah Barat Laut yang lembab,  sehingga menyebabkan  banyak terjadi hujan  pada periode tersebut, walaupun pada kenyataanya untuk daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan daerah pegunungan mendapat curah hujan yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah yang terletak di bagian barat. Sedangkan mulai bulan April, aliran udara yang relatif lebih kering mengalir dari arah selatan, menjadi angin timuran ketika melintasi wilayah Indonesia, menandai datangnya awal musim kemarau di wilayah Indonesia, yang dapat berlangsung hingga bulan Nopember untuk wilayah Indonesia  bagian  selatan-tenggara.

2. El Nino-La Nina
El Nino (dibaca El Ninyo), berasal dari bahasa spanyol yang berarti anak lelaki, merupakan fenomena laut, yang ditandai dengan muculnya arus laut hangat di sepanjang pantai Ecuador dan Peru sekitar bulan Desember, dan berlangsung hanya beberapa minggu atau bulan. Namun pada periode antara tiga hingga tujuh tahun sekali, peristiwa El Nino berlangsung lebih lama, yang membawa dampak yang cukup besar pada pola peredaran atmosfer di bumi.
Berdasarkan data yang ada, dalam kurun waktu empat puluh tahun yang lalu, tercatat sepuluh kali peristiwa El Nino yang serius, dan dua peristiwa paling serius tercatat pada kejadian El Nino tahun 1982-1983 dan 1997-1998. (Tabel 2.1), dimana beberapa kejadian El Nino berlangsung lebih dari satu tahun.
Fenomena El Nino pada umumnya terjadi pada saat peredaran “Trade Wind”   timuran melemah,  diikuti dengan aliran air hangat dari Samudera Pasifik Barat ke arah timur dan bergesar ke arah  timur mencapai pantai Amerika Selatan. Masuknya air hangat tersebut berdampak secara significant terhadap populasi bahkan matinya ikan-ikan di daerah-daerah sepanjang pantai Amerika Selatan, karena dengan perubahan temperatur air laut dari dingin menjadi hangat, akan memicu pengendapan massa air laut, yang berakibat pada berkurangnya populasi plankton yang menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan. (Gambar 2.1)
Pada periode El Nino,  hujan tropis  yang biasanya berada di sekitar wilayah Indonesia akan bergeser ke arah timur, sehingga secara umum mempengaruhi  pola peredaran atmosfer global. Perubahan pola sirkulasi atmosfer global tersebut secara dramatis, pada kondisi tertentu, akan membawa konsekwensi pada perubahan pola cuaca secara global pula, dimana akan diikuti dengan munculnya fenomena cuaca ekstrim, misalnya kekeringan di Afrika Selatan, India bagian selatan, Srilangka, Pilipina, Indonesia, Australia, Peru bagian selatan, Bolivia bagian barat, Mexico, dan Amereka Tengah; sebaliknya  hujan lebat dan banjir dapat terjadi di Bolivia, Ecuador, Peru Utara, Cuba,  dan daerah-daerah di Amerika Serikat.
Tabel 2.1 : Tahun El Nino
Tahun El Nino

1902 – 1903
1918 – 1919
1932 – 1933
1953 – 1954
1972 – 1973
1991 - 1992

1905 – 1906
1923 – 1924
1939 – 1940
1957 – 1958
1976 – 1977
1994 - 1995

1911 – 1912
1925 – 1926
1941 – 1942
1965 – 1966
1982 – 1983
1997 - 1998

1914 – 1915
1930 – 1931
1951 – 1952
1969 – 1970
1986 - 1987
Sumber : Departement of Atmospheric Sciences, The University of Illinois.


    
      Gambar 2.1  Kejadian El-Nino dan Non El-Nino serta pengaruhnya
                           terhadap pusat pertumbuhan awan

       


 
Gambar 2.2 Penyimpangan Suhu Permukaan Air laut pada periode El-Nino tahun 1982
Fenomena alam yang bertentangan dengan El Nino adalah La Nina, yang  dalam bahasa spanyol berarti anak perempuan, dimana terjadi penyimpangan suhu permukaan laut yang lebih dingin di kawasan perairan Equatorial Pasifik Timur. Secara umum kalau dihitung munculnya  El Nino dua kali  lebih sering terjadi dibandingkan dengan kejadian La Nina  (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Tahun La Nina
Tahun La Nina

1904 – 1905
1917 – 1918
1950 – 1951
1970 – 1971
1988 – 1989

1909 – 1910
1924 – 1925
1955 – 1956
1971 – 1972
1995 – 1996

1910 – 1911
1928 – 1929
1956 – 1957
1973 – 1974


1915 – 1916
1938 – 1939
1964 – 1965
1975 – 1976

Sumber : Departement of Atmospheric Sciences, The University of Illinois.

3 MJO (Madden Julian Oscillation)
Madden  Julian Oscillation (MJO), merupakan fenomena gangguan cuaca yang cukup penting untuk daerah tropis, pertama kali ditemukan oleh Madden dan Julian pada tahun 1971/1972, dengan memberi nama “gelombang 40 – 50 harian”, dan di kemudian hari hingga saat ini  MJO lebih popular dengan sebutan “gelombang 30 – 60 harian”.
        MJO merupakan gangguan cuaca musiman daerah tropis, dengan cirri-ciri arah gerakannya yang selalu diawali dari perairan tropis Samudera Hindia, pada daerah sekitar 10° LU - 10° LS, berupa  “pusat panas” yang bergerak ke arah Samudera Pasifik di bagian timur. MJO secara spesifik dapat diamati dari pola gerakan daerah aktifitas konvektif maximum, yang merupakan daerah pertumbuhan awan-awan Cb (Gambar.2.3)
       Daerah gangguan MJO dapat mencapai sekitar 3.000 km, mulai dari  Sumatera hingga Irian Jaya. Pada kondisi atmosfer yang lembab dan labil,  dapat memicu  peningkatan aktifitas MJO, yang diikuti dengan peningkatan curah hujan dalam dua minggu atau lebih. MJO juga diduga sebagai salah satu faktor pencetus aktifitas monsun.

Gambar 2.3 MJO diamati berdasarkan data radiasi gelombang panjang dari satelit cuaca.

 
4 Siklon Tropis
Siklon Tropis (TS) merupakan salah gangguan cuaca daerah tropis yang cukup penting, baik dilihat dari peranannya pada sistem cuaca secara umum, maupun dari dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap kehidupan di bumi.
   Siklon tropis umumnya tumbuh dan berkembang di perairan tropis yang hangat, dengan beberapa syarat/ kondisi yang memungkinkan pertumbuhannya, paling tidak harus ada  empat persyaratan  yang harus dipenuhi , yaitu :
a.    Daerah lautan yang hangat dengan suhu  minimal 26,5° C  hingga kedalaman sekitar 50 m.
b.    Kelembapan udara diatas perairan tersebut harus cukup lembab hingga ketebalan sekitar 5 km.
c.    Kondisi atmosfer yang labil, dimana laju penurunan suhu udara terhadap ketinggian harus cukup besar
d.   Jarak terdekat dengan Khatulistiwa adalah sekitar 500 km, dimana gaya koriolis diperlukan untuk dapat menimbulkan sirkulasi yang mendekati keseimbangan angin gradient (lihat gaya yang mempengaruhi pergerakan angin).
e.    Perbedaan kecepatan angina vertical yang rendah, yaitu sekitar 10 m/detik, karena pada kecepatan vertical yang besar justru akan menghambat perkembangan Siklon Tropis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Siklon Tropis tidak dapat tumbuh dan berkembang di wilayah Indonesia. Namun demikian,  keberadaan siklon tropis sebagai salah satu motor penggerak sirkulasi atmosfer wilayah tropis, secara tidak langsung akan berdampak pula terhadap dinamika cuaca di wilayah Indonesia. Sebagai  contoh, munculnya Siklon Tropis di Samudera Pasifik dapat menyebabkan peningkatan kecepatan angin di wilayah Indonesia, dimana pada daerah-daerah tertentu cuacanya akan lebih panas dan kering, namun pada daerah-daerah tertentu dimana terjadi pertemuan arus angin akan mendapat banyak hujan.

5 Dipole Mode
Dipole Mode, adalah gejala alam yang indikatornya merupakan nilai perbedaan (selisih) suhu muka laut  Samudera Hindia di perairan pantai timur Afrika dengan perairan di sebelah barat Sumatera. Secara umum dipole mode akan mempengaruhi suplai uap air atau awan-awan hujan khususnya di wilayah Indonesia bagian barat.
Jika nilai perbedaan positif (Dipole Mode Positif) atau kondisi suhu muka laut Samudera Hindia di sebelah barat Sumatera lebih dingin dari normalnya dan suhu muka laut di perairan pantai timur Afrika lebih panas dari normalnya, secara umum curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat akan berkurang.
Sebaliknya, jika nilai perbedaannya negatif (Dipole Mode Negatif), maka curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat secara umum akan cukup banyak.


         
            Gambar 2.4  Kejadian dipole mode positif
        
            Gambar 2.5  Kejadian dipole mode negatif



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar