Lautan dan atmosfer
adalah suatu sistem kopel yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sangatlah
ironis jika seorang oceanographer tidak mengerti tentang meteorology. Contoh
fenomena kopel atmosfer lautan yang terkenal adalah el-nino dan la-nina.
Dinamika lautan mempengaruhi fenomena ini. Selain itu, sistem kopel
lautan-atmosfer lainnya MJO (Madden Julian Oscillation), PDO (Pasific Decadal
Oscillation) IOD (Indian Ocean Dipole), dan lain-lain. Oleh karena itu,
meteorologi di kelautan adalah hal yang wajib dipelajari dan dimengerti.
1.
Moonson
Moonson merupakan implikasi dari respon samudera
dan benua dalam menerima sinar matahari. Contohnya di Indonesia, pada saat musim panas di BBU, suhu udara di
daratan Eropa dan Asia menjadi
panas. Udara di atas daratan
tersebut mendapat pemanasan yang lebih banyak dari perairan di daerah sekitarnya,
yang menyebabkan Palung Tekanan Rendah Khatulistiwa dan ITCZ bergeser ke arah
utara hingga mencapai sekitar wilayah
India dan Cina bagian Selatan. Akibatnya
dari dareah sabuk tekanan tinggi BBS akan mengalir angin dari arah Tenggara
menuju daerah ITCZ, dibelokkan ke arah kanan oleh gaya korioli pada saat melintasi
khatulistiwa, dan membentuk daerah angin monsun baratan pada daerah yang
terletak antara khatulistiwa dan ITCZ. Demikian juga halnya, pada saat musim
panas di BBS, pemanasan yang terjadi di atas daratan Benua Australia
menyebabkan pergeseran letak ITCZ bergeser ke arah selatan melintasi wilayah
Indonesia.
Di daerah yang iklimnya dipengaruhi oleh
pola peredaran monsun, arah angin
terbanyak/dominan yang bertiup pada periode musim hujan berlawanan arahnya
dengan arah angin terbanyak/dominan
yang bertiup pada periode musim
kemarau. Misalnya, untuk wilayah Indonesia sebelah selatan, musim hujan jatuh
pada periode musim angin barat (monsun barat), sedangkan musim kemarau jatuh
pada periode angin timur (monsun timur).
Perubahan arah angin yang terjadi pada periode musim hujan dan musim
kemarau tersebut terjadi seiring dengan pergeseran posisi Palung Tekanan Rendah
Khatulistiwa dan ITCZ dari utara ke
selatan, kemudian ke utara lagi, demikian seterusnya sepanjang tahun.
Pada periode antara bulan Nopember –
Pebruari, hamper di sebagian besar
wilayah Indonesia didominasi oleh angin dari arah Barat Laut yang lembab, sehingga menyebabkan banyak terjadi hujan pada periode tersebut, walaupun pada
kenyataanya untuk daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan daerah
pegunungan mendapat curah hujan yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah
yang terletak di bagian barat. Sedangkan mulai bulan April, aliran udara yang
relatif lebih kering mengalir dari arah selatan, menjadi angin timuran ketika
melintasi wilayah Indonesia, menandai datangnya awal musim kemarau di wilayah
Indonesia, yang dapat berlangsung hingga bulan Nopember untuk wilayah
Indonesia bagian selatan-tenggara.
2. El Nino-La Nina
El Nino (dibaca El Ninyo), berasal dari
bahasa spanyol yang berarti anak lelaki, merupakan fenomena laut, yang ditandai
dengan muculnya arus laut hangat di sepanjang pantai Ecuador dan Peru sekitar
bulan Desember, dan berlangsung hanya beberapa minggu atau bulan. Namun pada
periode antara tiga hingga tujuh tahun sekali, peristiwa El Nino berlangsung
lebih lama, yang membawa dampak yang cukup besar pada pola peredaran atmosfer
di bumi.
Berdasarkan data yang ada, dalam kurun
waktu empat puluh tahun yang lalu, tercatat sepuluh kali peristiwa El Nino yang
serius, dan dua peristiwa paling serius tercatat pada kejadian El Nino tahun
1982-1983 dan 1997-1998. (Tabel 2.1), dimana beberapa kejadian El Nino
berlangsung lebih dari satu tahun.
Fenomena El Nino pada umumnya terjadi pada
saat peredaran “Trade Wind” timuran
melemah, diikuti dengan aliran air
hangat dari Samudera Pasifik Barat ke arah timur dan bergesar ke arah timur mencapai pantai Amerika Selatan. Masuknya air hangat tersebut berdampak secara significant terhadap
populasi bahkan matinya ikan-ikan di daerah-daerah sepanjang pantai Amerika
Selatan, karena dengan perubahan temperatur air laut dari dingin menjadi
hangat, akan memicu pengendapan massa air laut, yang berakibat pada berkurangnya
populasi plankton yang menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan. (Gambar 2.1)
Pada periode El Nino, hujan
tropis yang biasanya berada di sekitar
wilayah Indonesia akan bergeser ke arah timur, sehingga secara umum
mempengaruhi pola peredaran atmosfer
global. Perubahan pola sirkulasi atmosfer global tersebut secara dramatis, pada
kondisi tertentu, akan membawa konsekwensi pada perubahan pola cuaca secara
global pula, dimana akan diikuti dengan munculnya fenomena cuaca ekstrim,
misalnya kekeringan di Afrika Selatan, India bagian selatan, Srilangka,
Pilipina, Indonesia, Australia, Peru bagian selatan, Bolivia bagian barat,
Mexico, dan Amereka Tengah; sebaliknya
hujan lebat dan banjir dapat terjadi di Bolivia, Ecuador, Peru Utara,
Cuba, dan daerah-daerah di Amerika
Serikat.
Tabel 2.1 : Tahun El Nino
Tahun El Nino
|
|||
1902 – 1903
1918 – 1919
1932 – 1933
1953 – 1954
1972 – 1973
1991 - 1992
|
1905 – 1906
1923 – 1924
1939 – 1940
1957 – 1958
1976 – 1977
1994 - 1995
|
1911 – 1912
1925 – 1926
1941 – 1942
1965 – 1966
1982 – 1983
1997 - 1998
|
1914 – 1915
1930 – 1931
1951 – 1952
1969 – 1970
1986 - 1987
|
Sumber : Departement of Atmospheric
Sciences, The University of Illinois.
Gambar 2.1 Kejadian
El-Nino dan Non El-Nino serta pengaruhnya
terhadap pusat
pertumbuhan awan
Gambar 2.2 Penyimpangan Suhu Permukaan Air laut pada periode El-Nino tahun 1982
Fenomena alam yang bertentangan dengan El
Nino adalah La Nina, yang dalam bahasa
spanyol berarti anak perempuan, dimana terjadi penyimpangan suhu permukaan laut
yang lebih dingin di kawasan perairan Equatorial Pasifik Timur. Secara umum
kalau dihitung munculnya El Nino dua
kali lebih sering terjadi dibandingkan
dengan kejadian La Nina (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Tahun La Nina
Tahun La Nina
|
|||
1904 – 1905
1917 – 1918
1950 – 1951
1970 – 1971
1988 – 1989
|
1909 – 1910
1924 – 1925
1955 – 1956
1971 – 1972
1995 – 1996
|
1910 – 1911
1928 – 1929
1956 – 1957
1973 – 1974
|
1915 – 1916
1938 – 1939
1964 – 1965
1975 – 1976
|
Sumber : Departement of Atmospheric
Sciences, The University of Illinois.
Madden Julian Oscillation
(MJO), merupakan fenomena gangguan cuaca yang cukup penting untuk daerah
tropis, pertama kali ditemukan oleh Madden dan Julian pada tahun 1971/1972,
dengan memberi nama “gelombang 40 – 50 harian”, dan di kemudian hari hingga
saat ini MJO lebih popular dengan
sebutan “gelombang 30 – 60 harian”.
MJO merupakan gangguan cuaca musiman daerah tropis, dengan cirri-ciri
arah gerakannya yang selalu diawali dari perairan tropis Samudera Hindia, pada
daerah sekitar 10° LU - 10° LS, berupa “pusat panas”
yang bergerak ke arah Samudera Pasifik di bagian timur. MJO secara spesifik
dapat diamati dari pola gerakan daerah aktifitas konvektif maximum, yang
merupakan daerah pertumbuhan awan-awan Cb (Gambar.2.3)
Daerah
gangguan MJO dapat mencapai sekitar 3.000 km, mulai dari Sumatera hingga Irian Jaya. Pada kondisi
atmosfer yang lembab dan labil, dapat
memicu peningkatan aktifitas MJO, yang
diikuti dengan peningkatan curah hujan dalam dua minggu atau lebih. MJO juga
diduga sebagai salah satu faktor pencetus aktifitas monsun.
Gambar 2.3 MJO diamati berdasarkan
data radiasi gelombang panjang dari satelit cuaca.
Siklon Tropis (TS) merupakan salah gangguan cuaca
daerah tropis yang cukup penting, baik dilihat dari peranannya pada sistem
cuaca secara umum, maupun dari dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap
kehidupan di bumi.
Siklon
tropis umumnya tumbuh dan berkembang di perairan tropis yang hangat, dengan
beberapa syarat/ kondisi yang memungkinkan pertumbuhannya, paling tidak harus
ada empat persyaratan yang harus dipenuhi , yaitu :
a. Daerah lautan yang hangat dengan suhu minimal 26,5° C
hingga kedalaman sekitar 50 m.
b. Kelembapan udara diatas perairan tersebut
harus cukup lembab hingga ketebalan sekitar 5 km.
c. Kondisi atmosfer yang labil, dimana laju
penurunan suhu udara terhadap ketinggian harus cukup besar
d. Jarak terdekat dengan Khatulistiwa adalah
sekitar 500 km, dimana gaya koriolis diperlukan untuk dapat menimbulkan
sirkulasi yang mendekati keseimbangan angin gradient (lihat gaya yang
mempengaruhi pergerakan angin).
e. Perbedaan kecepatan angina vertical yang
rendah, yaitu sekitar 10 m/detik, karena pada kecepatan vertical yang besar
justru akan menghambat perkembangan Siklon Tropis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa Siklon Tropis tidak dapat tumbuh dan berkembang di wilayah Indonesia.
Namun demikian, keberadaan siklon tropis
sebagai salah satu motor penggerak sirkulasi atmosfer wilayah tropis, secara
tidak langsung akan berdampak pula terhadap dinamika cuaca di wilayah
Indonesia. Sebagai contoh, munculnya
Siklon Tropis di Samudera Pasifik dapat menyebabkan peningkatan kecepatan angin
di wilayah Indonesia, dimana pada daerah-daerah tertentu cuacanya akan lebih
panas dan kering, namun pada daerah-daerah tertentu dimana terjadi pertemuan
arus angin akan mendapat banyak hujan.
5 Dipole Mode
Dipole Mode, adalah gejala alam yang indikatornya
merupakan nilai perbedaan (selisih) suhu muka laut Samudera Hindia di perairan pantai timur
Afrika dengan perairan di sebelah barat Sumatera. Secara umum dipole mode akan
mempengaruhi suplai uap air atau awan-awan hujan khususnya di wilayah Indonesia
bagian barat.
Jika nilai perbedaan positif (Dipole Mode Positif) atau kondisi suhu muka laut Samudera
Hindia di sebelah barat Sumatera lebih dingin dari normalnya dan suhu muka laut
di perairan pantai timur Afrika lebih panas dari normalnya, secara umum curah
hujan di wilayah Indonesia bagian barat akan berkurang.
Sebaliknya, jika nilai perbedaannya negatif (Dipole Mode Negatif), maka curah
hujan di wilayah Indonesia bagian barat secara umum akan cukup banyak.
Gambar 2.4 Kejadian
dipole mode positif
Gambar 2.5 Kejadian
dipole mode negatif